Saturday, July 20, 2019 1 komentar

Berbahagialah, Meski Tanpaku



Dalam nadiku ingin sekali untuk kau hidup disana. Menjadi sesuatu yang bisa menghidupkanku. Menghilangkan semua rasa duka dihati. Karena kupercaya, kamu adalah orang yang tepat untuk membantu menghapuskan tentang kehilangan. Tapi kini kau malah yang sekarang menafsirkan arti dari kehilangan. Melepas semua apa yang sudah kita genggam. 

Dulu kufikir hadirmu adalah keberhasilan semesta untuk menemukan kita. Ternyata itu adalah cara semesta memberikan tanda bahwa kau akan pergi tanpa sepatah kata.

Terima kasih, karena kau sempat bersedia untuk kucintai dan kuperjuangkan. Ternyata, kau ialah seseorang yang harus aku ikhlaskan kepergiannya. Setelah beberapa waktu, pada akhirnya kita harus saling melupakan. Kau dengan tujuanmu, aku dengan langkahku. keduanya bukan lagi hal yang mampu bisa bersisian. Tak peduli seberapa utuh kita pernah bermimpi jauh dan tak peduli pula seberapa sering kita seiring. Tak ada lagi alasan untuk kita kembali bersatu, sekalipun itu adalah cerita indah di masa lalu.
 
Meski entah seberapa lama lagi waktu yang kubutuhkan, yang jelas, aku akan menghapusmu perlahan.

Bulan ketujuh, 2019.
Saturday, April 13, 2019 1 komentar

Memahami Kenyataan


Aku terpenjara dalam waktu yang tak dapat dikatakan singkat. Ditambah lagi saat itu jiwaku yang kian sekarat, fikiranku semakin penat, dan tak ada satu kesedihan pun yang di buat-buat. Bertahan sekuat tenaga, meski pada akhirnya tetap terluka, meski air mata mencoba jatuh tanpa bicara, meski resah terus-menerus yang menghadirkan sesak dalam dada. Pernah mencoba mencari jalan keluar, tapi yang kutemui tak lain hanyalah dinding-dinding kukuh yang sedikit pun tak bercelah. 

Kesiur angin malam menyadarkan jiwa, perihal luka yang tak kunjung sembuh. Air mataku yang terus mebasahi pipi, lelah yang tak kunjung hilang dan pikiran yang tak kunjung bebas. Di sudut tempat aku bersembunyi dalam sunyi, sampai hadirnya bulan yang kian menerangi tanpa paksaan. Aku kembali di sapa malam, meratapi keadaan di mana jiwa berkonspirasi dengan gelap dan sepi. Menertawakan rasa yang masih betah bertahan dalam pedihnya keterpurukan. Aku dan perasaanku layaknya langkah yang gagal menemukan arah. Aku dan hidupku, layaknya kenyataan yang dipaksakan menjadi manis. Semua berawal dari kepergian yang tak memberikan alasan. Memaksa diri untuk tetap bertahan, memaksa diri untuk enggan meninggalkan dan memaksa diri menerka jawaban yang tak akan pernah mendapatkan pembenaran.

Mungkin begini cara luka mendefinisikan dirinya—pada harapan yang terus menyelimuti relung hati. Hingga seperti kata pada permulaan; segalanya telah menghidupkan kembali doa-doa yang kupanjatkan pada sepertiga malam.



Maret akhir, 2019.
 
 
;