Saturday, April 13, 2019 1 komentar

Memahami Kenyataan


Aku terpenjara dalam waktu yang tak dapat dikatakan singkat. Ditambah lagi saat itu jiwaku yang kian sekarat, fikiranku semakin penat, dan tak ada satu kesedihan pun yang di buat-buat. Bertahan sekuat tenaga, meski pada akhirnya tetap terluka, meski air mata mencoba jatuh tanpa bicara, meski resah terus-menerus yang menghadirkan sesak dalam dada. Pernah mencoba mencari jalan keluar, tapi yang kutemui tak lain hanyalah dinding-dinding kukuh yang sedikit pun tak bercelah. 

Kesiur angin malam menyadarkan jiwa, perihal luka yang tak kunjung sembuh. Air mataku yang terus mebasahi pipi, lelah yang tak kunjung hilang dan pikiran yang tak kunjung bebas. Di sudut tempat aku bersembunyi dalam sunyi, sampai hadirnya bulan yang kian menerangi tanpa paksaan. Aku kembali di sapa malam, meratapi keadaan di mana jiwa berkonspirasi dengan gelap dan sepi. Menertawakan rasa yang masih betah bertahan dalam pedihnya keterpurukan. Aku dan perasaanku layaknya langkah yang gagal menemukan arah. Aku dan hidupku, layaknya kenyataan yang dipaksakan menjadi manis. Semua berawal dari kepergian yang tak memberikan alasan. Memaksa diri untuk tetap bertahan, memaksa diri untuk enggan meninggalkan dan memaksa diri menerka jawaban yang tak akan pernah mendapatkan pembenaran.

Mungkin begini cara luka mendefinisikan dirinya—pada harapan yang terus menyelimuti relung hati. Hingga seperti kata pada permulaan; segalanya telah menghidupkan kembali doa-doa yang kupanjatkan pada sepertiga malam.



Maret akhir, 2019.
 
Sunday, April 07, 2019 0 komentar

Selesai Pada Satu Malam


[8:31 PM, 07/04/2019] Nayyera Noor:
Tentang rindu yang terpendam, kau tahu?
Yang sering kali tak terungkap, justru kian terperangkap. Tak terlaksana, tapi selalu menggebu dalam dada. Atau bahkan tak jua menghasilkan temu, karena semesta pun enggan beripihak padamu.

Pada akhirnya aku memilih bungkam dalam dendam. Dendamku yang ternyata rinduku. Yang jika itu sebuah dosa, maka kau harus tahu sudah berapa banyak dosa yang telah kutanggung. Aku tak ingin menangisi dirimu, hanya saja aku rindu kenangan itu. tak habis pikirku jika semua telah berlalu. 

Kisah kita bukanlah kisah raja dan ratu, melainkan kisah tentang aku yang merindu. Kisahku ini juga bukanlah kisah legenda, melainkan hanya sepenggal kisah rindu di atas luka.
Melihat bagaimana kini waktu berlalu, mengikis kenangan yang justru mengharuskan aku hidup dalam belenggu “rindu”.

[8:52 PM, 07/04/2019] Gilang Raksa:

Perjalanan mencari dan menemukan selalu saja menjadi yang paling kusangkal. Sebab aku hanya ingin berlayar, lantas ditemukan. Semata hanya aku bosan dengan penantian yang tak pernah ada kepastian. Sama dengan rindu; kata yang sering kauucap lalu menghantui setiap sela-sela fikiranku, tapi tak kunjung kau menemukan titik dimana harus menamatkannya. dengan menatap singgasana hati, ketika dengan yakinnya mengulurkan harapan dan menemukanku, satu-satu  hal yang memastikan rindu itu terselamatkan adalah tatapan matamu; mata kita.

Jangan pernah kaupaksakan hati yang tak ingin menetap, percuma saja kalau memaksa membuat mata semakin sembab. Kau tahu? Hal yang paling sulit kubayangkan adalah kau kembali pada genggaman tanganku. Namun, waktu telah membenciku; setelah semua yang kupersiapkan telah terhenti dan tak lagi menemukan jalan. waktu tak mengizinkanku bahkan sekadar berbisik di satu waktu, akan kukatakan bahwa aku mencintaimu.

[9:27 PM, 07/04/2019] Nayyera Noor:

Lalu kemana rinduku akan berlabuh, jika tertahan luka yang belum sembuh. Kembali padamu pun sudah tak mungkin lagi, karena katamu semua tak berarti.
Tertinggal kata yang belum sempat terucap, selain kata rindu dibalik sendu. Ternyata kata “maaf” kini yang terucap atas segala dendamku.

Ketika senyum tak lagi meluluhkan hati, justru hanya jadi pengingat kenangan inti. Ketika tawamu tak lagi terdengar, sisalah rindu yang semakin membesar.



[8:52 PM, 07/04/2019] Gilang Raksa:

Mungkin kamu harus merasakan bagaimana mencintai sendirian, bagaimana hebatnya bertahan dalam ketidakjelasan, bagaimana kamu digantungkan oleh hati yang tak pernah memberi kepastian—perihal arus balik dalam mencintai dan dicintai.

Lupakan saja hari esok, lalu bertahanlah pada kenyataan dihari kemarin. Dengan begitu kau akan terjebak di antara; mati ditikam kebodohanmu sendiri.

Kau harus tahu, bukan hal mudah untuk menerjemahkan luka yang telah menoreh begitu lama. Luka yang kusangsikan keberadaannya; begitu percaya bahwa waktu akan mempersatukan kita lagi. Luka itu begitu lama basah, tanpa ada obat yang mampu meredakan sejenak. Sudah sejak lama rasa ini menghunus lubuk hati—tentang hal yang memberikan luka yang nyata dalam diri. Meranggas pada setiap pohon-pohon harapan berisikan keinginan untuk kembali bersamamu. memang sudah takdirnya; tak bisa dilanjutkan kembali. Biarkan semua terhenti lalu karam, bahwa cerita kita sudah selesai pada satu malam.


sebuah retorika kepergian.


 
;